Oleh : Sarni S. Walanda (Kepala Sekolah SMA IT Albina Kota Ternate)
“Membaca buku – buku yang baik berarti memberi makan rohani yang baik
(Buya Hamka)”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Sementara menurut Wellek & Warren (2016: 3), sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, sebuah karya seni.
Dari pengertian di atas maka bisa diartikan sastra adalah seni yang dilukiskan dalam kata-kata namun dengan diksi yang bisa membangkitkan semangat, sebagai sarana ekspresi cinta, kasih dan sayang. Sastra bisa menjadi pisau yang menghujam, berdarah dan akhirnya binasa. Sastra juga bisa menjadi alat penyampai sindiran untuk penguasa durjana.
Program Sastra masuk kurikulum merupakan terobosan yang dicetuskan oleh kemdikbudristek baru-baru ini dengan tujuan meningkatkan kompetensi dan literasi membaca siswa dan guru sebagaimana salah satu tujuan daripada implementasi kurikulum merdeka.
Dengan demikian pemerintah mencoba menawarkan model pembelajaran berbasis karya sastra. Model pembelajaran ini bisa menyentuh beberapa mata pelajaran selain bahasa Indonesia diantaranya sejarah, IPA, IPS, Seni budaya, Pendidikan Pancasila dan lain-lain, tergantung dari latar belakang dan alur dari karya sastra tersebut.
Untuk menunjang kelancaran program ini, Kemdikbudristek meluncurkan Buku panduan penggunaan Rekomendasi Buku Sastra pada 19 Mei 2024. Didalamnya termuat, rekomendasi buku per jenjang pendidikan yakni dari Sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama( SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Setiap buku sastra yang direkomendasikan diberi penjelasan detail terkait identitas buku, latar belakang, penafian/disclaimer secara umum, catatan penafian/disclaimer secara detail , panduan penggunaan dan keterikatan dengan mata pelajaran.
Bersyukur ada panduan ini jadinya kami (guru) akhirnya bisa mengetahui bahwasanya dari sekian buku sastra yang direkomendasikan ternyata sebagiannya ‘tidak layak’ menurut kami untuk menjadi bahan bacaan anak-anak. Kenapa? Sebagian Buku – buku sastra yang direkomendasikan secara tersirat dan tersurat ada yang mengandung pornografi, kekerasan verbal, pedofilia, LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer) dan bahkan tergambar jelas adegan berhubungannya kaum LGBTQ pun juga bahasa vulgar tentang hubungan seksual sepasang laki-laki dan perempuan.
Sungguh sangat ironi di tengah gembar gembornya pemerintah dan kita semua yaang menginginkan lahirnya generasi baru Indonesia dengan karakter profil pelajar pancasila melalui projek penguatan profil pelajar pancasila (P5) namun disuguhi aneka buku sastra yang malah bisa menjadi hambatan dan menambah beban berat guru mencapai tujuan dari P5 itu sendiri.
Tak terkontrolnya arus pornografi, ujaran kebencian dan rupa-rupa berita kriminal bahkan kekerasan seksual yang mana pelaku dan korbannya adalah para remaja, seharusnya menjadi cermin buat pemerintah dan masyarakat dalam membentengi generasi masa depan bangsa.
Bebasnya anak-anak dalam mengakses novel-novel picisan via platform digital yang berseliweran di dunia maya, tak terbendungnya pilihan tontonan yang tak layak dijadikan tuntunan pun penuh di berbagai media sosial selayaknya menjadi sebuah ‘peringatan’ buat kita bukan malah serasa melegitimasi ‘kerusakan masuk sekolah’. Yah, guru berperan sebagai pemandu dalam pelaksanaan program ini.
Ada buku- buku khusus yang siswa tak dihimbau membaca secara mandiri harus berdasarkan pendampingan guru. Tapi apa iya, guru terus mampu memantau 24 jam? Atau bergumam “anak-anak halaman sekian sampai sekian tidak bisa dibaca. Sungguh sangat tak mungkin, anak-anak patuh akan itu. Justru memunculkan rasa ingin tahu yang besar.
Semoga dengan tulisan ini bisa menjadi pengingat untuk kita semua bahwasannya dunia remaja adalah dunia penuh coba-coba. Dunia yang penuh dengan rasa ingin tahu akan hal baru atau menantang. Olehnya itu, mereka sangat membutuhkan suguhan bacaan yang positif yang turut menjadi alat dalam menjaga perubahan sikap menjadi semakin baik dan bahkan bisa menjadi teladan diantara teman sebayanya.
Pelaksanaan pembelajaran sastra masuk kurikulum masih nanti di tahun ajaran 2024/2025, semoga rekomendasi tersebut bisa direvisi kembali agar kiranya menjadi bumerang di suatu masa dengan tidak mengurasi rasa hormat kami kepada para sastrawan, penulis dan para guru yang berkontribusi sebagi kurator dalam menghadirkan buku panduan rekomendasi buku sastra.
Akhir kata mengutip syairnya kaisar Perancis yang legendaris, Napoleon Bonaparte ‘Sepuluh orang yang berbicara membuat lebih banyak suara daripada sepuluh ribu yang diam’. Mari berisik untuk Indonesia yang lebih baik.
Kenyataannya justru sebagian orang yang mendalami sastra bahkan orang dewasa sekalipun banyak yang kemudian berpengaruh pada kesalahan fahaman berfikir dan kemudian berpengaruh pada sikap dan perilaku sehari hari.
Sastra lebih menyamaratakan orang tanpa batasan baik dari sisi nilai gender, sosial, aturan. Sehingga batasan – batasan ditiadakan . Hal itulah yang membuat sastra lebih menerima situasi LGBT, pornografi karena dianggap tidak ada yang salah dengan rasa dan berlindung dibalik lata hal asasi manusia yang di pelintir dalam bahasa sastra.
Untuk orang dewasa saja sering kali terjerumus menyalah artikan bahasa sastra, apalagi untuk usia pelajar yang pada dasarnya diibaratkan gelas kosong yang sedang diisi.
Jadi dengan ini biarlah sastra tetap berada di kurikulum pendidikan tingkat lanjut. Bukan berada di pendidikan usia pelajar SD, SMP dan SMA.
Karena pada usia ini anak – anak membutuhkan dasar pemahaman dan ideologi untuk membangun dirinya, belum waktunya mengolah kata yang diperdebatkan sehingga menjadi salah pemahaman dalam ber- ideologi.
Saya tidak setuju dengan masuknya sastra dalam kurikulum pendidikan 12 tahun.
Menuju Indonesia cemas 2045.. 🤔