Oleh : Ramdan Hamdani
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial)
Indonesia akan menjadi negara tangguh, inklusif dan mandiri di tahun 2045. Pembangunan 20 tahun ke depan diharapkan dapat mendorong Indonesia bertransformasi menuju peradaban masyarakat yang modern dan sejahtera. Itulah salah satu narasi yang penulis kutip dari laman www.indonesia2045.go.id. Melalui narasi semacam ini pemerintah nampaknya ingin menanamkan rasa optimisme sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa suatu saat nanti kita akan mampu berdiri sejajar dengan negara – negara maju. Pertanyaannya, akankah masa itu benar – benar tiba ?
Bagi mereka yang percaya dengan obrolan di warung kopi yang mengatakan bahwa potret hari ini merupakan cerminan dari kondisi yang akan datang, optimisme yang digaungkan oleh pemerintah tersebut nampaknya kian jauh panggang dari api. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dari tiga hal fundamental yang sangat menentukan kuat atau tidaknya sebuah bangsa atau negara. Pertama, bidang pendidikan. Guru yang merupakan ujung tombak pembangunan sumber daya manusia di Indonesia belum mampu bekerja sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dikarenakan banyaknya permasalahan yang hingga hari ini masih menyelimuti. Adapun kompetensi, distribusi serta kesejahteraan guru menjadi permasalahan yang entah kapan dapat diselesaikan.
Di tengah besarnya tuntutan untuk mendidik anak – anak bangsa secara paripurna, masih banyak guru yang masih disibukkan dengan urusan dapurnya. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sebanyak 42 persen korban pinjaman online (pinjol) illegal berprofesi sebagai guru. Alhasil, tenaga dan pikiran mereka pun terkuras untuk melunasi hutang sekaligus memenuhi kebutuhan keluarganya.
Selain faktor guru, biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan (yang berkualitas) juga semakin hari kian tak terjangkau. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dahulu dikenal dengan biayanya yang murah, hari ini justru berlomba mematok harga setinggi langit untuk para calon mahasiswanya. Akibatnya, putra putri terbaik bangsa yang memiliki kapasitas untuk duduk di bangku kuliah harus “mengalah” dengan mereka yang memiliki isi tas. Ironisnya, hal ini justru diamini oleh pemerintah dengan mengatakan bahwa kuliah merupakan kebutuhan tersier.
Hal fundamental kedua adalah kesehatan. Kondisi yang tak kalah memprihatinkan tercermin dari besarnya jumlah perokok aktif di tanah air yang saat ini mencapai 70 juta jiwa. Ironisnya, mayoritas perokok aktif tersebut didominasi oleh kalangan remaja. Celakanya lagi, tren semacam ini justru meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019 lalu, prevalensi perokok pada anak sekolah usia antara 13-15 tahun naik dari 18,3% pada tahun 2016 menjadi 19,2% pada tahun 2019. Sementara itu, data SKI di tahun 2023 juga menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%). Tak mengherankan apabila hari ini, banyak remaja yang menderita penyakit berat dan mematikan lainnya yang dulu biasanya hanya diidap oleh orang dewasa atau lanjut usia.
Dengan kondisi memprihatinkan semacam ini, bonus demografi yang akan diterima oleh bangsa ini pun lebih berpotensi menjadi musibah daripada berkah. Mereka yang seharusnya menjadi tulang punggung bangsa di masa yang akan datang justru berpotensi menjadi beban negara akibat beragam penyakit yang diidapnya. Selain diakibatkan oleh kebiasaan merokok, pergaulan bebas yang kian merajalela pun menjadi warning bagi bangsa ini untuk bersiap dengan kondisi terburuk.
Hal fundamental ketiga yang sangat penting adalah ekonomi. Semakin bertambahnya korban pinjol serta kian maraknya fenomena bank emok di kampung – kampung merupakan pertanda paling jelas bahwa bangsa ini sedang tidak baik – baik saja. Ironisnya, mereka yang terjerat hutang dengan bunga tinggi tersebut didominasi oleh kalangan remaja serta ibu rumah tangga. Akibatnya, mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan secara layak serta memenuhi kebutuhan asupan bergizi.
Kondisi ini diperparah dengan fenomena judi online yang kian merambah ke berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, driver ojol, pegawai pabrik, bahkan wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah pun seakan tak mau ketinggalan. Akibatnya sudah bisa ditebak. Berbagai permasalahan sosial pun bermunculan ke permukaan seiring ketidakmampuan pemerintah dalam menutup situs – situs penyedia judi online yang bisa diakses dengan mudahnya tersebut.
Berdasarkan gambaran di atas, diperlukan upaya lebih serius dari pengambil kebijakan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 sebagaimana digaungkan selama ini. Adapun masyarakat hendaknya mampu berpikir lebih rasional dalam mengambil setiap tindakan yang akan berdampak besar terhadap diri dan keluarganya. Seorang kepala keluarga dituntut untuk mampu melindungi diri dan anggota keluarganya dari berbagai ancaman terutama ancaman yang mematikan secara perlahan.