Gandum dalam perspektif peradaban sangat fenomenal. Bayangkan tidak tumbuh di Indonesia tapi mayoritas penduduk Indonesia hampir tidak bisa lepas dari gandum. Dalam berbagai variasi olahan setiap hari gandum dikonsumsi.
Pertanyaannya; bagaimana bisa lidah mayoritas orang Indonesia berselera gandum ?
Mungkin karena cita rasa gandum mirip dengan tepung beras, sinkong dsb yang asli Indonesia. Jadi alamiah saja. Kebetulan saja cocok dengan lidah indonesia.
Sepintas spekulasi ini masuk akal. Tapi jika kita renungkan lebih dalam, kita akan sampai pada dugaan fenomena gandum bukan sekedar Cita Rasa, tapi invasi budaya tanpa perlawanan yang sangat mengerikan. Gandum sudah menjadi stan gun yang mematikan.
Modelnya, hadirkan kesamaan, beri kenikmatan, maka milik aslinya akan ditinggalkan.
Logikanya ;
ketika gandum menjadi selera sebagian besar orang Indonesia…beras, singkong, sagu dsb, tidak lagi menjadi kebutuhan pokok.
Maka permintaan pasar pun menurun. Petanipun bingung.
Panen bangus harga hangus. mo ganti tanam gandum tidak tumbuh bagus. Jadi jalani saja apapun adanya. Walau kenyataannya hidup semakin tidak berdaya. Sementara petani gandum di eropa sana semakin jaya.
Mau gandum, beras, jagung, ketela atau sagu, sekilas memang tidak ada masalah.
Kandungan karbonya hampir sama. Cita rasanya juga tidak jauh berbeda. Bahkan lebih berasa.
Tapi justru kemiripan itulah masalahnya.
Begitu juga dengan karakter dan adab dalam pendidikan. Persoalannya bukan sekedar citarasa bahasa, tapi ada epistemologi yang membedakan keduanya.
Kandungan value dan perilakunya hampir sama. Mewujud dalam empati, kasih sayang, kolaburatif, tanggung jawab, convidence, kritis, adil, ramah, hormat dsb, yang bersifat universal.
Awalnya orang mulai kagum dengan perilaku baik;
orang jepang yang disiplin, kerja keras, sopan.
Orang Amerika dan Eropa yang confidence, disiplin, kritis, demokratis,
Orang Cina yang ulet, teliti dalam hitungan, hemat dan kerja keras.
Kemudian mulailah orang berkata : “bangun karakter anak – anak kita seperti karakter mereka. Agar negeri kita seperti negeri mereka juga”.
Maka dikumpulkanlah karakter itu lalu ditiru. Diajarkan kepada anak anak tanpa peduli dari mana ia tumbuh; lengkap dengan contohnya; orang cina, jepang, eropa dan Amerika.
Lalu anak – anak mulai berfikir :
Kalau orang jepang lebih jujur dari kita yang muslim.
Kalau orang Barat lebih demokratis dari kita yang muslim
orang Cina lebih gigih dari kita yang muslim ?
padahal mereka tidak beriman bahkan tidak bertuhan.
Kenapa kita tidak contoh mereka?
Toh mereka baik dan bisa hidup dengan baik.
Dan berlangsunglah Invasi ‘Gandum’ dalam peradaban.
Pelahan tapi pasti adab berganti karakter (perilaku baik). Mulai dari istilah ..kemudian isi lalu epistemoligi.
Invasi berlangsung
tanpa koreksi tanpa perlawanan!
Anak – anak kemudian berkata :
“Tidaklah penting Iman… tidaklah penting Taqwa.
Dalam kehidupan yang menilai baik buruk kita bukan tuhan, tapi orang – orang di sekitar kita.
Jadi tidak usah masalahkan agama, yang Penting kita baik dengan saudara, teman dan tetangga”!
Na’udzubillahi min dzalik.
Mari jaga iman dan taqwa anak- anak kita.
Wujudkan SIT SEBAGAI BENTENG ADAB generasi Indonesia.
Ajarkan ADAB Lillah, billah kepada siswa kita.
Bismillah kita bisa!
Surabaya, 11 Des 2019
Ery Masruri.
Div Pemberdayaan Orangtua