Pelajaran Pendidikan Agama Wajib Tetap Ada ( Peran Sekolah Dalam Membangun Manusia Indonesia yang Beriman )

Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono menyarankan Presiden Joko Widodo untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama harus jadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Pendidikannya cukup diberikan di luar sekolah, misalnya masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.

Menurut Darmono tanpa disadari sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan. Sebagai gantinya, pelajaran budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.

Saran yang sangat gegabah di sebuah negara yang berdasarkan Pancasila, yang mendudukkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya. Artinya seluruh sendi lainnya berupa ranah sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan akan berhulu pada Tuhan. Ujarnya ingin mendidik budi pekerti, namun agama disarankan untuk dipisahkan dalam paruh waktu keberadaan anak bangsa di sekolah. Bukankan budi pekerti anak bangsa makin jauh dari ketinggiannya saat bahkan nilai-nilai agama dijauhkan dari hatinya, hanya diterima di ranah kognitifnya. Bagaimanalah lagi jika pendidikan agama ditiadakan diberikan di sekolah! Entah di bawah titik nadir mana nilai kemanusiaan bangsa ini akan makin terpuruk? Karena semakin siswa berhasil diterima pesan belajarnya dalam mata pelajaran pendidikan agama, maka akan semakin tinggi budi pekertinya, semakin menonjol dan kuat sikap toleransinya, dan semakin kuat persatuannya.

Manusia kali pertama hadir di alam rahimnya, sudah mengikatkan diri dengan PenciptaNya untuk selalu menjaga pengakuannya bahwa Tuhanlah yang menciptakan manusia yang akan lemah, hina dina tanpa pengakuan itu. Lalu sistem sosial menciptakan sekolah sebagai unit sekolah yang mentrasfer nilai-nilai yang akan membangun manusia untuk tetap menjadi manusia. Revolusi industri hingga tahap ini masih memerlukan sinergitas antar rumah, sekolah dan masyarakat untuk menghantar kualitas manusia untuk menghamba kepada Yang Menciptakan, dan bagaimana manusia tersebut mengkonstruk dirinya agar dapat membangun dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya.

Di negara Indonesia tercinta ini keseluruhan pranata sosial tersebut masih membangun kualitasnya! Rumah masih terus diupayakan kualitasnya untuk menjadi tempat belajar siswa saat berada di rumah, sekolah masih terus ditata mutunya agar mampu melahirkan manusia yang meningkat keimanannya, ketaqwaannya dan akhlaq mulianya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan masyarakatnya pun masih harus dibenahi banyak sisinya, sehingga ketiga bagian ini masih harus bersinergi membantu anak-anak bangsa mampu tumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya.

Rumah dalam hal ini keluarga, dibangun untuk mewujudkan penghambaan kepada Tuhannya. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang menjalani nilai-nilai agama dengan benar akan tumbuh menjadi anggota keluarga dan masyarakat yang mensejahterakan lingkungannya dengan keshalihan amal ibadahnya.

Terselenggaranya sekolah-sekolah modern disebabkan oleh adanya perubahan sistem kehidupan politik. Alhamdulillah, kita berada di Negara yang berdasarkan Pancasila, dengan Undang-Undang Dasar 45 Pasal 31 yang berisi tentang Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan kehidupan bangsa. Dengan demikian seharusnya sekolah-sekolah yang berada di wilayah NKRI tetap berpegang teguh pada tujuan fundamental yaitu terwujudnya ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sekolah-sekolah di wilayah NKRI berkiprah individu-individu yang bertanggungjawab pada tujuan tersebut, bukan malah menyerabutnya!
Demikian juga dengan masyarakatnya, negara dan masyarakat merupakan pengawas berjalannya sistem tersebut, bahkan negara memastikan setiap bagian sistem yang dikelolanya terdapat kesatuan tujuan untuk menghambat berbagai penyimpangan dari tujuan fundamen pendidikan tersebut. Justru negara harus membuang jauh-jauh semua saran yang menyimpangkannya!

Bagaimanakah entitas sebuah sekolah lewat pendidikan agama dapat menjadi medium yang efektif dalam membangun bangsa? Untuk melahirkan insan bertaqwa seperti yang tercanang dalam tujuan pendidikan nasional negara kita, diperlukan pemahaman, perasaan benar dan salah yang tumbuh dengan baik, dan perilaku yang menyertai pemahamannya tentang sosok manusia yang benar dan baik menurut agama yang dianutnya.

Karena sekolah adalah organisasi legal yang diselenggarakan untuk membangun kualitas generasi sebuah negara. Sebagai organisasi, sekolah berbicara tentang belajar secara terus-menerus demi peningkatan kompetensi (pengetahuan dan keterampilan) peserta didiknya. Timbulnya kompetensi tersebut adalah dari stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar. Di sekolah-sekolah, lewat mata pendidikan agama khusunya, peningkatan kompetensi diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan nasional yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kapada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhan secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya. Oleh karena itu setiap dan semua sekolah harus memahami tujuan tersebut yang harus diwujudkan dan mencapai kompetensi yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Pencapaian kompetensi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dan pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah pada dasarnya merupakan cara untuk mencapai kompetensi tersebut. Sekolah sebagai organisasi dengan seluruh perangkat dan sistemnya, baik pada skala nasional maupun di sekolahnya masing-masing mengupayakan lahirnya lulusan seperti tertera pada amanat Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Sehingga manalah mungkin meniadakan mata pelajaran agama di sekolah, di mana sesuai dengan karakteristiknya sekolah adalah organisasi yang di dalamnya berjalan sistem yang saling berpengaruh yang akan melahirkan tujuan pendidikan negara.

Tumbuhnya siswa-siswa sebagai manusia bertaqwa sesuai amanah UUD 1945, memerlukan medium yang kondusif untuk mewujudkannya. Sebagai makhluk sosial yang berada pada durasi waktu yang definitif pada penjadwalan yang berlaku secara nasional, maka minimal 1/3 waktunya siswa berada di sekolah. Baik waktu harian, dan waktu tahunannya. Maka sekolah akan punya peran besar dalam membentuk pola fikir, sikap dan perilaku siswa. Mari kita telusur peran sekolah sebagai medium dalam pembentukan manusia beriman.

Pertama, peran guru yang secara personal dan profesional mendapat legalitas dan legitimasi untuk tampil sebagai pihak otoritas yang tampil sebagai pihak yang dapat membimbing dan mengoreksi jika terjadi penyimpangan dalam proses dan capaian kompetensi dari jalannya proses pengajaran di sekolah. Generasi harapan bangsa yang mampu membanggakan bangsa, harus ditempa menjadi manusia-manusia beriman di lingkungan yang secara masif bergerak secara terorganisir dan nasional, salah satunya melalui mata pelajaran pendidikan agama.

Kedua, guru sebagai personal adalah pendidik yang mampu tampil sebagai role model pengejawantahan dari manusia-manusia beriman. Siswa butuh contoh untuk mencapai kompetensi tersebut. Di sekolah, sebagai medium sosial dan seiring dengan filosofi dan prinsip-prinsip pendidikan, guru sejatinya akan merasa untuk mendekat pada sosok-sosok pribadi yang tergambar sebagai manusia-manusia beriman yang tergambar khusunya pada mata pelajaran agama.

Ketiga, kompetensi manusia beriman sebagai instrumen utama dalam pembentukan karakter, dipengaruhi oleh lingkungan sekolah ( Megawangi, Pendidikan Karater untuk Membangun Masyarakat Madani, 2003 ). Sekolah adalah tempat strategis untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu manusi yang beriman, karena anak-anak dari semua lapisan akan mengeyam pendidikan di sekolah. Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu di dekolah dan aktifitasnya untuk yang ada hubungannya dengan sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan kompetensinya sebagai manusia yang beriman. Hal ini memperkuat alasan untuk tetap adanya mata pelajaran pendidikan agama, bahkan dapat dirambah lebih luas dari sisi kuantitas dan kualitasnya sehingga mampu membangun kehormatan negara.

Keempat, adanya mata pelajaran pendidikan agama merupakan jantung kehidupan sekolah sebagai medium sosial yang membangun peradaban. Bukan hanya pimpinan, guru, dan semua yang berada di sekolah, namun berpengaruh besar pada orangtua dan lingkungannya. Pengimplementasian dari muatan kurikulum akan mempengaruhi cara berfikir siswa yang akan dibawa ke rumah dan masyarakatnya, sehingga terjadi proses internalisasi nilai yang menguat dalam membangun negara menjadi negara yang Berketuhanan yang Maha Esa.

Dari beberapa ulasan di atas, semoga terjawab mengapa mata pelajaran pendidikan agama sejatinya kita jaga! Bahkan kita tingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya, bahwa pendidikan agama di seluruh sekolah di wilayah NKRI tercinta mampu melahirkan putra putri bangsa yang mampu membangun negara dan bangsanya dengan semangat persatuan, dan putra putri bangsa yang semakin memperindah kehidupan berbagsa dan bernegara ini dengan ketinggian budi pekertinya karena kekayaan pesan-pesan belajar yang diperolehnya di sekolah-sekolahnya!

 

 

Yanthi Haryati

Pengurus Pusat JSIT Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*