Mendidik Anak, Mendidik Diri Sendiri

Oleh: Anisa Fitriany Sholehah
(Guru SDIT Insan Rahayu – Bandung)

Berbagai macam definisi mengenai ke-shalih-an seseorang itu terkadang kurang jelas dan terkesan bias secara arti dan pemaknaan. Kurangnya kesadaran bahwa segala bentuk pertanyaan salah satunya terdapat pada ayat-ayat-Nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an:
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur (QS. an-Nahl ayat 78).

Hasil pentadaburan ayat diatas, Pertama: bahwa Allah dan kehendak-Nya lah yang telah mengeluarkan kita melalui asbab (bahasa Arab) atau perantara yang disebut sebagai manusia, seorang ibu– tepatnya. Kedua: Allah mengeluarkan kita dan dengan dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Ketiga: Allah memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani sebagai alat atau media pembelajaran. Last but not least: semua hal itu tidak lain adalah pengingat agar kita senantiasa untuk bersyukur.

Berbicara definisi pendidikan secara umum, tidak lain dan tujuannya hanya berada di seputar transfer of knowledge. Sayang sekali, output nilai kebermanfaatannya tidak sejauh apa yang sudah Islam tentukan sebagaimana yang sudah disinggung melalui ayat diatas. Allah menginginkan kita selaku hamba-Nya bukan sekedar dari yang belum tahu menjadi tahu, melainkan dari yang asalnya tidak mengetahui (ketika mengetahuinya) menjadi bersyukur.

al-ustaadz Hasan Faruqi atau yang akrab disapa dengan Aba Hasan, mengatakan bahwa: “Ilmu yang banyak belum tentu bisa menghasilkan kebersyukuran. Ilmu yang banyak, ada disuatu ruangan. Tapi melatih kebersyukuran itu ada di ruangan yang lain.” Lantas apa yang akan terjadi apabila kita mengetahui suatu ilmu tanpa nilai kebersyukuran?
Buah dari mengetahui suatu ilmu tanpa nilai kebersyukuran antara lain.

Berilmu tapi tidak beradab, berilmu tapi tidak beribadah. Seharusnya apa? Ilmu yang kita ketahui itu seharusnya di-satu-ruangan-kan. Agar ketika bertambah ilmu, seharusnya bertambah pula adabnya. Bertambah ilmu, seharusnya bertambah pula ghirah semangat beribadahnya.
Titik beratnya berada pada peran Pendidik dan Orang Tuanya selaku “guru” bagi mereka (baca: anak-anaknya).

Dan kebermanfaatan dalam kebersyukuran pada anak:
Pertama, menumbuhkan rasa kebahagiaan yang diberikan untuk anaknya. Tingkat keluasan dalam memahami bentuk nikmat akan sulit diterima oleh anak tanpa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan yang terjadi pada anak akan lebih mudah menerima permintaan bersyukur.

Kedua, dalam nilai kebersyukuran adalah agar menumbuhkan motivasi dalam beribadah. Ibadah yang dimaksud disini adalah difokuskan pada ibadah yang wajib. Dengan menumbuhkan kebersyukuran, akan hadir perasaan candu terutama dalam hal-hal kebaikan salah satu yang utama adalah beribadah.

Ketiga, kebersyukuran akan menumbuhkan rasa optimis, positive thinking atau husnudzaan. Karena ia akan mengerti bahwa Allah akan memberikan kenikmatan yang membuatnya berfikir bahwa nikmat Allah lebih banyak dibandingkan ujian yang Ia berikan.

Keempat, kebersyukuran akan menghasilkan serta menumbuhkan citra diri. Citra diri diibaratkan sebagai self-esteem. Citra diri yang buruk, akan menumbuhkan rasa pesimis dan ke-tidak-percayaan-diri bahwa dirinya dapat berguna bagi orang sekitar. Gaya komunikasi lah yang harus diperhatikan. Tepatnya, tidak membanding-bandingkan. Karena membanding-bandingkan adalah salah satu bentuk ke-tidak-bersyukur-an yang nyata.

Kelima, kebersyukuran akan membuat sadar dalam menjalani misi hidup. Menyadari visi, misi dan tugas dari Allah. Dan itu menjadi indikator keberhasilan seorang anak. Seperti, aku peduli dengan agama; karena orang yang peduli dengan agama– adalah orang yang akan peduli dengan segalanya.
Kerapkali kita merasa dan mengira bahwa orang yang secara hitungan angka hidupnya lebih dan/atau berada diatas kita; mereka adalah orang yang patut bahkan harus kita tu-ru-ti. Termasuk meminta mereka untuk selalu bersyukur. Orang tua sebagai sekolah pertama sudah sepatutnya menjadi ‘pengawal’ bagi anak-anaknya.

Mengikuti kemana dan seperti apa mereka akan menjadi. Dan guru, adalah sosok yang tak bisa terlepaskan dari kehidupan selama mereka menempuh pendidikan; dasar-menengah-akhir.

Salah satu pembahasan yang selalu di garis bawahi, adalah perihal adab. Takkan habisnya dan betapa menariknya pembahasan ini sehingga menuai definisi yang berbagai macam. Seperti salah satu definisi yang cukup terngiang-ngiang hingga saat ini:

“Adab adalah suatu perlakuan secara sadar maupun tidak, dan kita bisa menyesuaikannya: siapa, dimana, dan bagaimana.”

Ada satu kalimat yang menarik dalam buku Pernahkah Kamu Berfikir karya Syekh Abdul Aziz bin Nashir al-Jalil: “Dasar kebaikan dan keburukan seseorang senantiasa bermula dari– pemikiran. Sebab, pemikiran merupakan dasar timbulnya kehendak, tuntutan dalam kezuhudan, pengingkaran, kecintaan, maupun kebencian.”

Disana dijelaskan, bahwa pikiran senantiasa menjadi teman sekaligus musuh bagi seseorang. Ketika diri mengatur pikiran selalu mengarah kepada hal-hal kebaikan, ia akan menjadi teman. Dan ketika pikiran terpenuhi oleh kabut-kabut keburukan, itu adalah waktunya kita menganalisis maksud dan tujuan serta meminimalisir terjadinya suatu kegagalan dalam proses.

Sebagaimana yang tertera dalam materi kajiannya, beliau membagi adab-adab guru menjadi tiga: satu, adab kepada dirinya– dua, adab ketika mengajar– tiga, adab kepada muridnya.
Yang menjadi catatan pertama kali seorang guru yang harus memiliki adab kepada dirinya adalah akhlak jangan sampai rusak. Tidak semena-mena dalam menggunakan title guru kepada anak didik; seperti terkesan menjadi raja dan babu. Mengingat bahwa guru ini adalah sosok yang digugu dan ditiru, maka salah satu bentuk nyata guru yang berakhlak adalah memberikan contoh hal-hal kebaikan secara sukarela.

Kedua, adab guru ketika mengajar. Tak sedikit anak didik akan merasa speechless ketika melihat gurunya rapi, fashionist. Karena, penampilan adalah hal yang pertama yang dapat dinikmati oleh semua orang. Oleh karenanya, menjaga penampilan adalah salah satu bentuk ikhtiar kita untuk disenangi orang yang memandangnya.

Ketiga, adab guru kepada murid. Memberikan nasehat kepada setiap anak didik lalu mengarahkannya sesuai bakat yang dimiliki oleh mereka. Tak hanya itu, memastikan apa yang muridnya lakukan; guru juga semaksimal mungkin melakukannya pula. Alias tak sekedar hubungan satu arah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*